Saksi Pernikahan Harus Beragama Islam
SAKSI PERNIKAHAN HARUS BERAGAMA ISLAM
Pertanyaan.
Jika salah seorang dari dua saksi dalam pernikahan beragama Kristen, sahkah pernikahannya ? Jika sudah terjadi apakah harus diulangi akad pernikahannya?
Jawaban.
Sebagaimana telah diketahui umum bahwa dalam sebuah akad pernikahan harus ada saksi yang berjumlah minimal dua orang laki-laki dan disyaratkan bersifat adil.
Allah Azza wa Jalla berfirman
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ
Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allâh. [at-Thalâq/65:2]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin raihmahullah mengatakan, “Allah Azza wa Jalla memerintahkan agar ada persaksian pada peristiwa ruju’. Ruju’ yaitu mengesahkan kembali akad pernikahan yang lalu (setelah terjadi perceraian-red). Jika dalam ruju’ diperintahkan ada persaksian, maka mestinya dalam pernikahan itu lebih diperintahkan lagi.”[1]
Disebutkan dalam hadits :
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَ شَاهِدَيْ عَدْلٍ
Tidak sah pernikahan kecuali dengan (idzin) wali dan dua saksi laki-laki yang adil. [HR. Baihaqi. Hadit sini dinyatakan shahîh oleh syaikh al-Albâni rahimahullah dalam Shahîhul Jâmi’is Shaghîr, no. 7557 dan Irwâ’ul Ghalîl, no. 1839, 1858, 1860]
Yang dimaksudkan dengan adil yaitu orang yang agama dan akhlaqnya lurus (baca, bagus), walaupun hanya secara lahiriyah. [Lihat Syarhul Mumti’, Kitâb : an-Nikâh].
Dan orang yang lurus agamanya hanyalah orang Islam.
Sebenarnya para Ulama berbeda pendapat tentang hukum persaksian dalam akad pernikahan. Sebagian mereka berpendapat bahwa persaksian itu merupakan syarat sah pernikahan, sementara sebagian yang lain berpendapat bukan syarah sah pernikahan. Dan syaikh Muhammad bin Shalil al-Utsaimin rahimahullah memilih pendapat yang kedua. Namun beliau rahimahullah menyarankan agar tetap mengadakan persaksian, jika berada disebuah negara atau tempat yang mayoritas penduduknya memilih pendapat yang menyatakan bahwa persaksian itu syarat sah. Ini untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak kita inginkan dikemudian hari.
Ada juga sebagian Ulama yang memandang bahwa sebuah akan pernikahan bisa sah dengan syarat ada persaksian atau ada pemberitahuan (pengumuman). Artinya, kalau sudah ada pemberitahuan (pengumuman) sehingga acara akad pernikahan itu diketahui oleh orang banyak, maka itu sudah cukup, meski tidak ada saksi. Bahkan ini dipandang lebih kuat pengaruhnya dalam menyebarkan berita pernikahan ini.
Dari uraian singkat tentang korelasi (keterkaitan) antara akad pernikahan, persaksian dan pemberitahuan, bisa disimpulkan :
1. Pernikahan yang dilakukan dengan persaksian (dua laki-laki adil) dan diumumkan. Pernikahan seperti ini sah menurut kesepakatan Ulama.
2. Pernikahan yang dilakukan dengan persaksian (dua laki-laki adil), namun tanpa diumumkan. Keabsahan pernikahan dengan gaya ini perlu diteliti. Karena acara seperti ini bertentangan dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya, “Umumkanlah pernikahan!” [HR. Tirmidzi dan Ibnu Mâjah. Hadits ini dinilai hasan oleh syaikh al-Albâni rahimahullah dalam Irwâul Ghalîl, no. 1993]
3. Pernikahan yang diumumkan, namun tanpa persaksian. Menurut pendapat yang lebih kuat, ini dibolehkan dan sah pernikahannya.
4. Pernikahan yang dilangsungkan dengan tanpa persaksian dan tanpa diumumkan, pernikahan ini tidak sah. [Lihat, Syarhul Mumti’, Kitâb : an-Nikâh]
Oleh karena itu, jika pernikahan di atas telah diumumkan yaitu dengan diadakan walimatul ‘urs (pesta pernikahan), maka pernikahan itu sah. Karena dengan diumumkan itu berarti telah disaksikan oleh banyak orang. Walaupun demikian, untuk kehati-hatian dan menghindari perselisihan, apalagi berkaitan dengan catatan pernikahan di KUA, seharusnya tetap dengan persaksian dua laki-laki yang adil berdasarkan hadits di atas yang telah dishahihkan oleh syaikh Al-Albani.
Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
______
Footnote
[1] Syarhul Mumti’, Kitâb : an-Nikâh, hlm. 94
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/7874-saksi-pernikahan-harus-beragama-islam-2.html